Halaman
196
Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA
C.
Menemukan Nilai-Nilai dalam Karya Sastra Melayu
Klasik
15.2
Membaca (Sastra)
Tujuan Pembelajaran:
Kamu akan mampu menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu
klasik.
Kali ini kamu akan diminta untuk membaca suatu karya sastra Melayu klasik,
kemudian menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Nilai
adalah
ajaran atau etika dalam kehidupan yang dapat dijadikan pelajaran bagi manusia.
Nilai-nilai dalam karya sastra Melayu klasik meliputi berikut ini.
1. Nilai moral atau etika, adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan norma-norma
yang ada dalam suatu masyarakat atau kelompok manusia tertentu.
Jadi, ukuran nilai adalah baik dan buruk yang bersifat lokatif atau berdasarkan
tempat tertentu. Pesan moral disampaikan dari perilaku, sikap, dan ucapan
tokoh-tokohnya.
2. Nilai sosial, adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan masalah sosial. Jadi,
berkaitan antara interaksi sosial antarmanusia, baik sebagai individu maupun
kelompok.
3. Nilai budaya, adalah nilai yang berkaitan dengan kebudayaan, adat istiadat,
ataupun kebiasaan suatu masyarakat.
4. Nilai estetika atau keindahan adalah nilai yang berkaitan dengan segi bahasa,
baik majas, diksi, persamaan bunyi, maupun simbol atau lambang-lambang.
5. Nilai religius, adalah nilai-nilai ajaran kepercayaan atau ketuhanan yang
dituangkan dalam karya sastra.
Sebagai latihan, bacalah karya sastra Melayu klasik berikut, kemudian
kerjakan tugas yang menyertainya!
Diangkat Kembali Menjadi Raja
. . .
Tersebutlah perkataan Baginda tatkala ia membuangkan dirinya itu. Berapa
lamanya ia berjalan itu, maka Baginda pun sampailah kepada sebuah negeri yang
amat besar kerajaannya. Maka Baginda pun duduklah di luar kota negeri itu.
Syahdan, maka adalah raja di dalam negeri itu telah kembalilah ke Rahmatullah.
Maka ia pun tidak beranak, seorang jua pun tiada. Maka segala menteri dan
hulubalang dan orang besar-besar dan orang kaya-kaya dan rakyat sekaliannya
197
Kegiatan Sekolah
berhimpunlah dengan musyawarah mufakat sekaliannya akan membicarakan
siapa juga yang patut dijadikan raja, menggantikan raja yang telah kembali ke
Rahmatullah itu. Maka, di dalam antara menteri yang banyak itu ada seorang
menteri yang tua berkata, katanya “Adapun hamba ini tua daripada tuan hamba
sekalian. Jikalau ada gerangan bicara, mengapa segala saudaraku ini tiada hendak
berkata?” Maka segala menteri dan hulubalang itu pun tersenyum seraya katanya,
“Jika sungguh tuan hamba bersaudarakan hamba sekalian ini, dengan tulus dan
ikhlas, hendaklah tuan hamba katakan, jika apa sekali pun.” Setelah itu, maka
menteri tua itu pun berkatalah, katanya, “Bahwasanya hamba ini ada mendengar
tatkala hamba lagi kecil dahulu perkataan marhum yang tua itu,” maka sabdanya,
marhum itu, “Adapun akan negeriku ini, jikalau tiada lagi rajanya maka hendaklah
dilepaskan Gajah kesaktian itu, barang siapa yang berkenan kepadanya ia itulah
rajakan olehmu, supaya sentosa di dalam negeri ini.” Setelah didengar oleh
sekalian menteri dan hulubalang itu akan menteri itu maka sekaliannya pun
berkenanlah di dalam hatinya kata itu.
. . .
Hatta, maka pada ketika yang
baik, maka Gajah kesaktian itu pun
dikeluarkan oranglah dengan
alatnya. Setelah sudah maka segala
menteri dan hulubalang dan rakyat
sekalian pun segeralah meng-
iringkan Gajah itu dengan alat
kerajaan, daripada payung ubur-
ubur dan hamparan. Setelah itu,
maka seketika itu juga sampailah ia
kepada tempat baginda dua suami
istri itu.
Kalakian maka Baginda pun terkejut seraya menetapkan dirinya. Maka gajah
itu pun segeralah datang menundukkan kepalanya, seolah-olah orang sujud
rupanya kepada Baginda itu. Maka segala menteri dan hulubalang dan rakyat itu
198
Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA
pun bertelut menjunjung duli seraya berkata sembah, “Ya tuanku Syah Alam,
patik sekalian memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke bawah duli Syah
Alam yang mahamulia. Adapun patik sekalian ini telah menyerahkan diri patik,
dan negeri ini pun patik serahkan ke bawah Syah Alam.” Setelah Baginda
mendengar demikian sembah sekalian mereka itu, maka Baginda pun terlalulah
suka citanya seraya titahnya, “Hei sekalian Tuan-tuan, apa mulanya maka
demikian halnya, Tuan-tuan ini?”
Maka sembah segala menteri dan hulubalang itu, “Ya Tuanku Syah Alam,
adapun negeri patik ini telah tiadalah rajanya, telah sudah kembali ke Rahmatullah
taala.” Maka dipersembahkannya daripada permulaannya datang kepada
kesudahannya itu.
Syahdan, maka Baginda pun terlalulah suka cita hatinya mendengar sembah
sekalian menteri dan hulubalang itu. Maka seketika Baginda pun menceritakan
hal ikhwalnya pergi membuangkan dirinya itu. Setelah segala menteri dan
hulubalang dan rakyat sekaliannya mendengar cerita Baginda itu, maka mereka
itu terlalulah suka cita hatinya. Maka katanya, “Raja besar juga rupanya duli
Baginda ini.” Setelah sudah maka sembah segala menteri dan hulubalang dan
rakyat sekalian itu, “Baiklah, segera Tuanku naik ke atas gajah ini, supaya patik
sekalian mengiringkan Tuanku ke dalam negeri.
Alkisah, baginda dua suami istri pun naiklah ke atas gajah itu, maka perdana
menteri pun mengembangkan payung kerajaan. Setelah sudah maka segala
hulubalang pun mengerahkan segala rakyat memalu segala bunyi-bunyian, gegap
gempita bunyinya terlalu ramainya. Maka baginda dua suami isteri itu pun diarak
oranglah, lalu masuk ke dalam negeri diiringkan oleh segala menteri dan
hulubalang, rakyat hina dina, kecil dan besar, tua dan muda sekaliannya.
Apabila sampailah ke istana, maka sekaliannya itu pun habislah menjunjung
duli Baginda. Maka Baginda pun terlalu adilnya dan murahnya serta dengan tegur
sapanya akan segala rakyat, jikalau miskin kaya sekali pun sama juga kepadanya.
Maka negeri itu pun sentosalah. Demikian adanya.
. . .
(Bunga Rampai dari Hikayat Lama)